Hujan mulai mengguyur kawasan pinggir kota. Sepeda motor menepi menghindari guyuran hujan. Akhir-akhir ini hujan selalu turun tiba-tiba. Angin munson berhembus menandakan peralihan musim. Aku  memperlambat laju motorku. Nampak lampu kerlap-kerlap bertanda warung makan langgananku sudah dekat. Perlu menenangkan perut yang sedari tadi berbunyi.

 

Aku melangkahkan kaki diantara para pelanggan. Hilir mudik mencari nomor yang dipesan seseorang. Tak perlu waktu, lama kulihat seorang gadis berkacamata. Gadis itu hanya memandang layar gawai, melirik sebentar kemudian memalingkan wajah kembali.

 

Malam semakin larut ditambah hujan yang tak berhenti membuat suasana semakin syahdu. Kepulan asap semakin kalut diantara pelanggan warung makan. Suara teriakan penonton bola menambah keriuhan malam itu. Suasana yang berbeda merundung hatiku. Genap tiga tahun aku mengenal gadis dihadapanku. Pertemuan pertama ketika mengikuti acara organisasi kampus. Paras cantik dibalut jilbab pasmina mengalihkan pandangan semua peserta. Tak khayal, satu-dua kakak panitia bermata buaya berlagak hebat di hadapanya.

 

Suara lonceng terdengar dari jam raksasa yang terdapat di pojok warung. Jam kuno peninggalan jepang sebagai ikon warung ini. Jarum jam menunjukkan tengah malam. Pengunjung semakin ramai memenuhi warung. Beberapa menghabiskan kopi sambil berdiskusi adapula yang menyaksikan pertandingan sepak bola di layar kaca.

 

Suara adzan bergema membangunkan semesta. Kokok ayam bersahutan diantara heningnya pinggir kota. Mata tak kuat menahan kantuk, dan merelakan diri bersandar diatas meja. Kudapati secarik kertas dihadapanku. Sebuah kalimat tertera bertuliskan tinta hitam.

“Wahyu,tak kuasa kutulis kalimat ini. Terima kasih telah menjadi sahabat hingga usiaku senja. Kampus dan warung makan sebagai saksi perkenalan kita. Namun, cinta memang tak harus saling memiliki. Semalam kala terakhir semeja berdua.”

 

Mataku mengerjap mengeja kata demi kata. Hanyalah mimpi yang kuinginkan. Nahas, ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan yang kuhadapi. Sekian tahun bersama dan berakhir sampai jumpa.

 

 

Awan gelap membungkus kawasan pinggir kota. Musik dangdut menghiasi dinding kamar. Beberapa kali kucermati layar ponselku tak ada pesan masuk. Hanya beberapa notif media sosial yang menumpuk.

 

Perutku berbunyi ketika sebuah pesan muncul di layar ponselku. Sebuah pesan dari sahabat karibku bernama Dora. Adik tingkat yang baru kukenal beberapa waktu lalu ketika malam pengakarban.

 

Warung makan dipenuhi mahasiswa. Waktu telah memasuki makan siang. Sebagian mahasiswa menjamak sarapan dan makan siang.

 

Kudapati meja kosong di pojok ruangan. Meja yang biasa kutempati bersama gadis. Ia sempat mengundangku di pernikahan. Hanya saja hati tak dapat dikompromi.

 

Sekian detik berlalu, tak nampak batang hidung yang kutunggu. Beberapa kali telpon tak terangkat. Yaah barangkali ada kelas mendadak batinku.

 

Sepuluh menit berlalu, aku menyaksikkan sebuah ambulan melintas. Terdengar suara sirene tak jauh dari lokasi warung. Pelanggan tak kalah heboh berebut menuju lokasi kejadian. Aku tertegun mendengar info yang berterbangan. Satu dua pelanggan telah kembali ke meja sembari membawa informasi kejadian.

 Perasaanku kalut bak diterpa badai. Perlahan-lahan mulai kucocokkan ciri korban dengan Dora. Kaki terasa berat untuk kuangkat. Sebuah pesan mengabarkan bahwa Dora telah tiada.

 

Bangku hadapanku kosong. Pandanganku seakan menggeliat empat tahun yang lalu. Perlahan bayang tersebut muncul di hadapanku. Satu-dua memori bahagia menghampiri bangku depanku. Yap.. aku tak sendiri, kenangan tetap menemani walau waktu berganti.