Senja mulai menampakkan wajahnya. Aku masih bergelut dengan tugas yang belum kelar. Baru saja aku dihubungi bahwa ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

“kring... kring...” hapeku berbunyi terdapat suara salam dari ujung telpon.

“ya, ampun” aku kaget karena hari ini adalah hari ulang tahun Nina.

“dia, sudah menunggumu sejak tadi. Apakah kamu tidak pulang ? dia akan sangat kecewa mendengarnya”. Suara wanita paruh baya mendengus di ujung telpon.

Hari ini adalah ulang tahun ke enam anakku. Sejak usia pertama aku tidak pernah disampingnya ketika ulang tahun. Aku sudah berjanji untuk merayakan bersama.

Aku sudah menjejakkan pintu didepan rumah. Ruang tamu nampak gelap, mungkin istriku sudah tidur. Aku tergeletak diruang tengah badanku kotor dan lelah sekali. Seorang wanita datang membawa secangkir kopi, dialah istriku.

“sudah lama mas ?” senyumannya selalu membuatku bertambah sumringah.

“baru saja dek, lagian ini sibuk sekali. Proyek sedang menumpuk, rapat dimana-mana” ujarku sambil menyeruput secangkir kopi.  

“Nina tadi sangat bahagia, setelahku mendengar kau tak bisa datang. Aku mengajak teman-teman mengaji untuk makan bersama, kedatanganmu mungkin akan menambah kebahagiaan.”

“maafkan aku dik, aku memang terlalu egois.” ujarku lirih.

Setelah berbincang sebentar, kulangkahkan ke kamar mandi dan membersihkan badan. Sadar atau tidak aku memang tak memiliki waktu untuk Nina. Beruntung ada zainab yang selalu melengkapi kekuranganku.

Suara ayam terdengar berkokok kencang, luar masih gelap. Terdengar suara membangunkanku. Nina telah mengguncang badanku seraya menunjuk ke layar televisi di ruang tengah. Tampak sebuah berita menayangkan sebuah kebakaran.

“Innalillahi.” aku terkaget. Pabrik yang kukembangkan sejak muda telah hangus dilahap si jago merah. Penyebab belum diketahui. Aku bergegas memanaskan mobilku dan menunaikan salat subuh. Zainab nampak prihatin dengan melihatku yang gugup. Mobil melaju kencang di jalanan. Masih terlihat lengang. Api masih berkobar. Teriakan histeris tak dapat dihindarkan. Aku termangu melihat kejadian ini.

Mentari mulai menampakkan tubuhnya. Para buruh mulai berdatangan. Wajah mereka menampakkan kekecewaan. Tak ada yang tersisa. Bangunan telah luluh menjadi abu. Kuputuskan merumahkan para buruh. Semua pendapatan kujadikan pesangon untuk kesejahteraan. Tak ada harta yang tersisa, aku memilih berhenti sejenak. Istirahat.  

Hari mulai sore, mentari menampakkan senja yang indah. Pemandangan yang jarang sekali kunikmati. Dengan secangkir teh hangat dan pisang goreng, aku menyapa tetangga yang pulang bekerja sebuah kegiatan yang jarang kulakukan. Zainab datang membuyarkan lamunanku.

“Lagi, mikirin apa mas ?”. sapa zainab.

“ngga dik, aku hanya menikmati sore hehe”.

“bagaimana kelas tadi, lancar”. aku mencoba mencari tema pembicaraan.
“alhamdulillah ya, seperti biasa ada beberapa masalah tapi masih dapat ditangani.”

“pisang gorengnya enak ya. Beli dimana ?”
“buat sendiri lah mas, masak beli sih. Kan dibelakang rumah banyak pohon pisang. Ketahuan jarang pulang” ledek zainab.



Di belakang rumah terdapat pekarangan yang luas. Jarang sekali aku menengok pekarangan. Kesibukkan di pabrik membuatku lupa akan kenikmatan yang ada dirumah.

“kamu menanam sendiri, kuat sekalai dikau”. ucapku terkejut
“ngga mas, aku meminta bantuan salim untuk menanam. Si salim waktu itu lagi butuh tabungan, orang tuanya ngga mampu untuk membiayai sekolah. Yaudah aku minta bantuanya untuk merawat pekarangan. Syukur syukur bantu tetangga.” jelas zainab.

Astaga, pekerjaanku yang bejibun membuatku lupa membantu tetanggku sendiri. Aku merasa sangsi dengan kehidupanku yang kurang bermanfaat. Beruntung ku memiliki zainab yang selalu memahami keadaanku. Ia bisa menggantikanku pula dilingkungan masyarakat.

Nina tampak berlari riang. Ia baru saja selesai mengaji di musola. Ia beretriak girang ketika melihatku. Sadar sudah lama tak melihatku bersantai dirumah. Acapkali dia melihatku tidur ataupun bekerja dirumah.

“ ayah, coba lihat gambaranku deh. Bagus kan”. Ia menunjukkan gambaran sebuah masjid bermahkota emas.

“waah bagus nak, eh ini kamu bawa bungkusan apa”.sambil memegang seplastik makanan didalamnya.

“ooo. Ini keripik pisang yah. Tadi adi membagikan oleh-oleh dari ayahnya, ada banyak rasa loh.” jawab nina menggemaskan. “makan aja yah kalau mau.”

“hmmm, enak juga”. aku menikmati hingga habis tak bersisa. Ku mencoba mengamati kemasan tersebut. Iseng aku buka media sosial produk tersebut. “ohiya, di belakang rumah kan banyak pohon pisang, kesempatan nih”. ujarku ketika menonnton cara produksi.

Selang beberapa kali percobaan, akhirnya aku berhasil membuat satu kemasan keripik pisang. Dengan bantuan salim aku mulai merambahi bisnis tersebut. Para tetangga pun juga sangat menggemari camilan pisang yang kubuat. Selain menambah keuntungan, akupun juga mulai menggerakkan roda ekonomi masyarakat setempat. Para pengangguran juga mendapat pekerjaan di home industri yang kumiliki. Aku bersyukur kepada tuhan yang maha esa, kau ganti pabrikku dengan yang lebih baik. Selain mendapat kebahagiaan dari harta juga kasih sayang keluarga.