Aku masih duduk manis di warung kopi, sedari tadi pak tarno mengomel mulu tentang keputusanku berhenti dari dunia sepakbola. Memang orang telah menilai aku adalah salah satu pemain berbakat penerus Timnas Indonesia. Mereka selalu
menyayangkan alasanku karena dianggap sepele. Keputusanku sudah bulat, dengan bukti empiris serasa aku dipercundangi oleh anak kesayangan. Aku bukanlah pemain yang berawal dari akademi ataupun SSB, tetapi semua pemain di mata pelatih sama.

Warung kopi semakin riuh, anak muda seumuranku berdatangan sembari menceritakan keberhasilan Timnas junior melenggang ke babak final Piala AFF. Bukan main, mereka mengaitkanku yang memilih berhenti dari dunia sepakbola.

“mungkin, mereka akan kalah di final”.

“Iri bilang bos”.

Di malam harinya, warung kopi kembali ramai. Tua-muda,cowok-cewek berdatangan menyaksikkan pertandingan yang dinanti-nanti. Sembari mereka menonton, beberapa kali menyindirku yang berhenti dari dunia sepakbola. Memang, aku adalah impian kampung yang dapat tampil di ajang internasional. Keputusanku berhenti bukanlah masalah uang dan harta, melainkan masalah harga diri.

“Priiit....Priiit....Priiiit....” bunyi peluit panjang telah berbunyi. Indonesia berhasil merengkuh gelar Piala AFF untuk pertama kali. Warung kopi riuh gemuruh dengan sorakan. Mereka mengandai-andai kan jika aku ikut mengangkat piala disana. Aku pun mengenali beberapa wajah yang menerima medali. Satu-dua juga mengenaliku dengan akrab, sewaktu TC mereka sering menyempatkan berbincang sebelum tidur.

“Coba gus kalau kau tak berhenti, pastilah kau akan diarak satu kampung”
“aku bukan bintang yang diangkat kemudian dijatuhkan bang”

“apa maksudmu ?”

Aku tersenyum kecut, bang muiz masih bingung mendengar jawabanku. Warung kopi mulai sepi, aku mulai membereskan gelas yang berserakan. Tak peduli perkataan orang, selama aku masih bisa menghidupi dengan warung kopi dan bertani tak bermain bola tak menjadi masalah bagiku. Toh, bekerja itu sesuai hati nurani, tak dipaksakan ataupun lewat kehendak orang lain.

Setahun sudah berlalu, dunia sepak bola semakin bergeliat. Pemain timnas senior sudah mulai melanglang buana ke luar negeri. Begitu pula warung kopi yang semakin ramai ketika malam minggu. Bebebrapa maniak bola menghabiskan malam dengan menyakisikan atraksi pemain asing.

“hei lihat, itu fikri. Pemain timnas yang mengantarkan juara piala AFF”.
“coba saja gus kau tetap bermain, kau pasti sudah ditonton beribu pasang mata”.

Senyuman kecil tersimpul di bibirku, hanya itu jawaban yang kusampaikan tenteng keputusanku. Beberapa motivator mengatakan semangat jangan menyerah tetapi aku sadar itu bukan jalanku. Tentu mengecewakan tetapi aku telah mengetahui kedholiman federasi. Tak pantas bekerja sama dalam kedholiman.

Masyarakat sudah larut dalam hegemoni juara piala AFF. Beberapa bulan kedepan akan ada kualifikasi piala dunia. Tentu saja keinginan tampil dalam kejuaraan tertinggi di dunia adalah keinginan seluruh bangsa. Ditengah persiapan timnas Indonesia terjadi hiruk pikuk perpolitikan nasional. Beberapa politikus tertangkap tangan oleh KPK. Beberapa artis dan public figure terjerat narkotika. Federasi pun tak dapat menghindar dari kejaran KPK. Beberapa mafia tertangkap melakukan suap pada piala AFF tahun lalu. Juara yang didapat Timnas hanyalah pemberian mafia kepada Indonesia. Tampil di piala dunia mulai sirna. Sepak bola Indonesia mulai dibekukan. Para pemain mengeluh karena gaji yang ditunggak oleh klub. Hanya pemain berkualitas yang dapat berkarir di luar negeri. Para penikmat kopi juga berhenti meledekku.