Episode 1 : Perkenalan
Gerimis kecil mengguyur jalanan kota dan gang-gang
kecil kota. Ditemani playlist youtube, aku kembali melanjutkan episode yang
tertunda. Prolog ngga jelas dan kurang substansi membuatku enggan untuk
melanjutkan kisah ini. Konsisten menjadi penyakit dalam berkarya.
Oke baiklah, kali ini gerimis telah reda, dingin menyelimuti malam tanpa
bintang-bintang. Gemerlap lampu cukup menghiasi suasana malam perkotaan. Aku
kembali merengkuh gagang penaku dan menuliskan kalimat per kalimat.
Aku biasa dipanggil Lucki, kata mbokyem pembantu di
rumahku, luki berarti keberuntungan. Aku kadang protes kenapa namaku tidak
menggunakan kearab-araban. Sekalipun aku lebih memilih nama jawa sekalian yang
mengandung filosofis. Ya begitulah nama, mungkin bapak ibuku berharap aku menjadi
orang yang beruntung.
Semasa kecil, aku tinggal di salah satu perumahan mewah
di ibu kota. Hanya orang khusus yang dapat tinggal di kawasan ini. Entah aku
beruntung atau tidak dapat tinggal disini, namun bersyukur ialah hal yang
paling bisa kulakukan. Wajar saja, rumah sebesar ini hanya ditempati 2 orang
saja. Mbok yem lebih sering menemaniku daripada orang tuaku. Bisa jadi mereka
sudah lupa punya rumah sebesar ini.
Aku jarang berinteraksi dengan ayah maupun ibu. Setiap
pulang kerja, aku sudah tertidur pulas di kamar. Begitu pula ketika aku hendak
berangkat sekolah, ayah dan ibu juga sedang istirahat. Aku enggan menganggu
waktu istirahat, asal mbok yem sudah menyiapkan sarapan dunia nampak baik-baik
saja.
Keperluanku sudah disiapkan mbok yem, aku tinggal
mengenakan sepatu sendiri. Kebetulan sepatu yang kukenakan tidak bertali
sehingga tidak sulit bagi anak seusiaku. Sepatu sudah terpasang ketika mobil
jemputan sudah tiba di depan rumah. Berhubung orang tuaku tidak memiliki sopir,
mobil jemputan sekolah menjadi alternatif yang tepat untuk anak sekolahku. Aku
juga dimasukkan ke sekolah full day yang tenar di tahun 20 an kelak.
Yaps, supaya aku tidak bergaul bebas dengan anak gang sekitar.
Semasa SD, aku tergolong menjadi anak yang pendiam.
Kawan dekatku tidak banyak, dapat dihitung dengan jari tangan. Walaupun aku
sering menjadi perhatian guru, namun itu tak menjadi masalah. Aku lebih memilih
diam, toh aku berbicara juga tak ada yang menggubris.
Teman dekatku hanya 3, Sinta, Rasyid dan Budi. Aku
,Sinta dan Rasyid bertetangga, sedangkan
Budi sebangku hingga lulus sekolah. Nasib kami kurang lebih sama.
Ditinggal orang tua kerja seharian dan pulang ketika larut malam. Sinta yang paling beruntung, ibunya
berprofesi sebagai guru sehingga masih bertemu barangkali sore hingga malam.
Kehidupan kami bertiga layaknya seperti anak kecil
biasa. Bermain, bermain dan pulang ketika hari telah gelap. Bedanya aku dan
Rasyid tidak dicari seperti halnya Sinta. Kami memilih berhenti bermai ketika Sinta telah dicari ibunya.
Sama halnya kami di sekolah, selalu bertiga dan
ditambah Budi yang turut bergabung dengan kami. Dari berbagi bekal makanan
sampai mengerjakan PR sekolah bersama. Kadang, Budi juga menyempatkan bermain
di komplek perumahan pada akhir pekan. Kami lebih sering berkumpul di rumah
Sinta. Ibunya yang ramah, membuat kami senang bermain disana. Selain itu
terdapat taman di belakang rumah yang jarang di daerah perkotaan.
Posting Komentar
0 Komentar