Gerimis kecil mengguyur jalanan kota dan gang-gang kecil kota. Ditemani playlist youtube, aku kembali melanjutkan episode yang tertunda. Prolog ngga jelas dan kurang substansi membuatku enggan untuk melanjutkan kisah ini.  Konsisten  menjadi penyakit dalam berkarya.

Oke baiklah, kali ini gerimis telah reda,  dingin menyelimuti malam tanpa bintang-bintang. Gemerlap lampu cukup menghiasi suasana malam perkotaan. Aku kembali merengkuh gagang penaku dan menuliskan kalimat per kalimat.

Aku biasa dipanggil Lucki, kata mbokyem pembantu di rumahku, luki berarti keberuntungan. Aku kadang protes kenapa namaku tidak menggunakan kearab-araban. Sekalipun aku lebih memilih nama jawa sekalian yang mengandung filosofis. Ya begitulah nama, mungkin bapak ibuku berharap aku menjadi orang yang beruntung.

Semasa kecil, aku tinggal di salah satu perumahan mewah di ibu kota. Hanya orang khusus yang dapat tinggal di kawasan ini. Entah aku beruntung atau tidak dapat tinggal disini, namun bersyukur ialah hal yang paling bisa kulakukan. Wajar saja, rumah sebesar ini hanya ditempati 2 orang saja. Mbok yem lebih sering menemaniku daripada orang tuaku. Bisa jadi mereka sudah lupa punya rumah sebesar ini.

Aku jarang berinteraksi dengan ayah maupun ibu. Setiap pulang kerja, aku sudah tertidur pulas di kamar. Begitu pula ketika aku hendak berangkat sekolah, ayah dan ibu juga sedang istirahat. Aku enggan menganggu waktu istirahat, asal mbok yem sudah menyiapkan sarapan dunia nampak baik-baik saja.

Keperluanku sudah disiapkan mbok yem, aku tinggal mengenakan sepatu sendiri. Kebetulan sepatu yang kukenakan tidak bertali sehingga tidak sulit bagi anak seusiaku. Sepatu sudah terpasang ketika mobil jemputan sudah tiba di depan rumah. Berhubung orang tuaku tidak memiliki sopir, mobil jemputan sekolah menjadi alternatif yang tepat untuk anak sekolahku. Aku juga dimasukkan ke sekolah full day yang tenar di tahun 20 an kelak. Yaps, supaya aku tidak bergaul bebas dengan anak gang sekitar.

Semasa SD, aku tergolong menjadi anak yang pendiam. Kawan dekatku tidak banyak, dapat dihitung dengan jari tangan. Walaupun aku sering menjadi perhatian guru, namun itu tak menjadi masalah. Aku lebih memilih diam, toh aku berbicara juga tak ada yang menggubris.

Teman dekatku hanya 3, Sinta, Rasyid dan Budi. Aku ,Sinta dan Rasyid bertetangga, sedangkan  Budi sebangku hingga lulus sekolah. Nasib kami kurang lebih sama. Ditinggal orang tua kerja seharian dan pulang ketika larut malam.  Sinta yang paling beruntung, ibunya berprofesi sebagai guru sehingga masih bertemu barangkali sore hingga malam.

Kehidupan kami bertiga layaknya seperti anak kecil biasa. Bermain, bermain dan pulang ketika hari telah gelap. Bedanya aku dan Rasyid tidak dicari seperti halnya Sinta. Kami memilih berhenti bermai  ketika Sinta telah dicari ibunya.

Sama halnya kami di sekolah, selalu bertiga dan ditambah Budi yang turut bergabung dengan kami. Dari berbagi bekal makanan sampai mengerjakan PR sekolah bersama. Kadang, Budi juga menyempatkan bermain di komplek perumahan pada akhir pekan. Kami lebih sering berkumpul di rumah Sinta. Ibunya yang ramah, membuat kami senang bermain disana. Selain itu terdapat taman di belakang rumah yang jarang di daerah perkotaan.

Pertemanan kami akan berlangsung pada episode yang akan datang. Kami berempat saling melengkapi ketika sekolah dasar. Sudah hampir mirip nobita dan kawan-kawan tanpa doraemon lebih tepatnya